GIRO, TABUNGAN, DEPOSIT dalam Islam
GIRO,
TABUNGAN, DEPOSIT
Dosen pengampu : DR. Ahmad Mifdlol
Muthohar, M.S.I
Disusun
oleh :
1. Nurul
Huda (63020170025)
2. Septiana (63020170064)
3. Ayu
Wandira (63020170161)
Kelas
3A
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Puji
syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT , karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas Makalah ini.
Semoga
karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja khususnya bagi diri
kami sendiri, para pelajar dan semua yang membaca Makalah ini, dan
mudah-mudahan dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Kami
menyadari bahwa dalam menulis Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya Makalah kami ini.
Wasalamualaikum
Wr. Wb.
Salatiga,
10 September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II PEMBAHASAN
PENGHIMPUN DANA
A. TEORITIS
1. WADI’AH
2. MUDHARABAH
B. PRAKTIK
1. TABUNGAN
2. DEPOSITO
MUDHARABAH
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bank sebagai
suatu lembaga keuangan memiliki fungsi
menghimpun dana. Dana yang terhimpun kemudian disalurkan kembali ke masyarakat.
Kegiatan bank menghimpun dana tersebut dinamakan Funding (penghimpunan dana).
Pada bank
syariah Sebagaimana pada lembaga bank secara umum, dalam penghimpun dana bank
syariah pada dasarnya diadopsi dari produk tabungan atau simpanan serta
deposito pada bank konvensional, akan tetapi terdapat perbedaan mendasar, bank
syariah melandasi setiap transaksi dalam dengan akad yang sesuai dengan syariah
dan undang undang atau peraturan lainnya. akad dasar yang dikembangkan adalah Wadi’ah
dan Mudharabah. Oleh karenanya kami akan membahas dari sisi teoritis
dan praktik mengenai kedua akad tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana konsep Wadi’ah dan Mudharabah itu ?
2.
Bagaimana aplikasinya kedua akad tersebut dalam sektor keuangan syariah
atau Perbankan syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
PENGHIMPUN DANA
Sebagaimana pada lembaga bank secara umum, dalam
penghimpun dana bank syariah mempraktikkan produk tabungan dan giro dan
deposito. Dalam produk tersebut, akad dasar yang dikembangkan adalah Wadi’ah
dan Mudharabah . oleh karenanya perlu dijelaskan secara teoritis
tentang kedua akad tersebut.
A. TEORITIS
1.
WADI’AH
a) Pengertian
Wadi’ah menurut bahasa yaitu taraka (meninggalkan),
artinya :
“ sesuatu yang ditinggalkan (dititipkan pada orang
lain oleh pemiliknya untuk dipelihara”
Hampir senada dengan definisi ini , Ali Haidardalam
majalah ahkam adliyah mengemukakan:
“Wadi’ah menurut istilah para fuqaha adalah
barang yang diserahkan kepada orang tertentu dengan maksud untuk dipelihara
b) Landasan Hukum
Wadi’ah dibolehkan dalam islam berdasarkan QS An-Nisa’
[4:58] :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya”
c) Rukun dan Syarat Wadi’ah
Rukun Wadi’ah menurut
jumhur ada tiga, yaitu dua orang yang berakad yang terdiri dari penitip dan
penerima titipan (wadi’ dan muwaddi’), sesuatu yang dititipkan (wadia’ah
atau muwada’), dan sighat (ijab dan kabul). Sedangkan syarat –
syarat Wadi’ah adalah :
Ø Dua orang yang berakad disyaratkan berakal dan
mumayyiz meskipun ia belum baligh.
Ø Wadi’ah (sesuatu yang dititipkan disyaratkan berupa harta
yang bisa diserahterimakan, dan barang
yang dititipkan harus mempunyai nilai dan dipandang sebagai mal.
Ø Sighat ( ijab dan Kabul) seperti “saya dititipkan
barang ini kepadamu”. Jawabnya “saya terima”. Namun tidak disyaratkan lafal
Kabul, cukup dengan menerima barang itu , atau diam.
d) Macam macam Wadi’ah
v
Wadiah yad al amanah,
memiliki karakteristik
Barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan atau di pergunakan,
penerima titipan hanya berperan sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban memelihara barang titipan, dan penerima titipan dibolehkan
membebankan biaya.
v
Wadiah yad ad dhamanah
Pada
wadiah ini, benda dapat dimanfaatkan
oleh penerima titipan. Produk ini dierapkan pada bank syariah dalam bentuk
giro.
2.
MUDHARABAH
a) Pengertian
secara kata bahasa, Mudharabah
diambil dari kalimat dharaba fil ardh. Artinya , melakukan perjalanan dalam
rangka berdagang. Mudharabah dinamakan
pula dengan qiradh yang berasal dari dari kata al-qardh. Artinya, potongan
karena pemilik harta memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
mendapat sebagian dari keuntungannya. Demikian dijelaskan Sayid Sabiq dalam
bukunya Fiqh a.s-Sunnah.
b)
Landasan Hukum
Hadis Nabi riwayat Imam
Ibnu Majah dari Shuhaib, Nabi SAW bersabda:
عن صالح بن صهيب عن ابيه قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم ثلاث فيهن البيع الى اجل والمقارضة واخلاط البر بااشعير للبيت
لاللبيع
Dari
Shahih bin Shuhaib r.a. dari bapaknya bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”(HR. Ibnu Majah)
c)
Rukun dan Syarat
Ø Dua
orang yang berakad (al-'aqidain) yang terdiri dari pemodal dan pengelola. Mereka
disyaratkan baligh dan berakal, artinya sudah cakap hukum.
Ø Sesuatu
yang diakadkan (al-maqud'alaih) yang terdiri dari modal, pekerjaan, dan
keuntungan.
Ø Lafal
Akad (shighat) yang terdiri dari ijab dan kabul. Tidak diisyaratkan lafal
tertentu, tetapi jelas menunjukkan pengertian mudharabah, seperti
perkataan pemodal, “Ambillah harta ini secara mudharabah laba menjadi
milik berdua, seperdua, sepertiga, seperempat, dan sejenisnya”. Lalu perkataan
pekerja “Aku ambil, aku ridhai atau aku terima.
d)
Jenis jenis mudharabah
Ø Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah
Mutlaqah (restricted investment account) adalah mudharabah di mana
pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan
investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat.
Ø Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah
muqayyadah (unrestricted investment account) adalah mudharabah di mana
pemilik dana memberikan batasan pada pengelola antara lain mengenai dana,
lokasi, cara, dan sektor usaha.
B.
PRAKTIK
Praktik pendanaan bank syariah pada
dasarnya diadopsi dari produk tabungan atau simpanan serta deposito pada bank
konvensional, akan tetapi terdapat perbedaan mendasar, bank syariah melandasi
setiap transaksi dalam dengan akad yang sesuai dengan syariah dan undang undang
atau peraturan lainnya.
1.
TABUNGAN
Dalam tabungan, bank Syariah
mengembangkan dua akad yaitu Wadi’ah dan mudharabah. Dalam
tabungan yang menggunakan akad Wadi’ah bank Syariah mengakomodir
transaksi tabungan Wadi’ah biasa dan tabungan Wadi’ah dalam
bentuk giro.
a)
Tabungan Wadi’ah
Yaitu
produk yang bersumber dari nasabah yang sering disebut dana titipan pihak
ketiga (DPK) dalam bentuk tabungan.
Landasan
hukum tabungan wadiah mengacu pada :
1. Fatwa
DSN MUI
Fatwa DSN No. 02//DSN-MUI/IV/2000,menyatakan
bahwa tabunagn yang dibenarkan ,yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah
dan wadiah.
2. Peraturan
Bank Indonesia (PBI)
Penjelasan pasal 3
peraturan bank Indonesia nomer 9/19/PBI/2007,wadiah adalah transaksi penitipan
dana atau barang dari pemilik kepada penyimpan dana atau barang dengan
kewajiban bagi pihak yang menyimpan untuk mengembalikan dana atau barang
titipan sewaktu-waktu.
3. Pasal
1 angka 21 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankkan Syariah
Tabungan adalah simpanan berdasarkan akad Wadi’ah
atau investasi dana berdasrakan akad mudharabah atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan prinnsip Syariah yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang telah disepakati, tetapi
tidak dapat ditarik dengan cek,bilyet
giro, dana atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Dalam Fatwa No: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan
di nyatakan
Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan
Wadi’ah:
1. Bersifat simpanan.
2. Simpanan bisa diambil kapan saja
(on call) atau berdasarkan kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang
disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela
dari pihak bank
Adapun praktik produk tabungan dengan akad wadiah dapat dirinci
sebagai berikut:
Ø Rekening dapat dimiliki oleh perorangan, bersama (dua orang atau
lebih), organisasi yang tidak berbadan hukum, perwalian, serta rekening
jaminan.
Ø Jumlah setoran awal dan saldo minimal per-bulan disesuaikan dengan
kebijakan bank. Terdapat Bank Umum Syariah yang mewajibkan setoran awal minimal Rp. 500.000,- saldo minimal Rp. 50.000, dan menetapkan administrasi terhadap penggunaan
ATM (Automatic teller machine) sebesar Rp. 5.000
,sd. 10.000, setiap bulan.
Ø Dana tabungan dapat diambil sesuai dengan permintaan nasabah (on
call) tanpa batasan waktu, dan setiap transaksi tercatat dalam buku tabungan
[passbook].
Ø Nasabah mendapatkan imbalan (’athaya) dari pihak
bank. sebagai konsekuensi dananya diperdayakan oleh bank
b)
Tabungan Giro Wadi’ah
Dalam pasal 1 angka 13 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah disebutkan :
Giro adalah simpanan berdasarkan akad wadiah atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek,bilyet giro,sarana perintah
pembayaran lainnya,atau dengan perintah pemindahbukuan.
Dalam Fatwa No: 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro
dinyatakan :
Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Wadi’ah:
1.
Bersifat titipan.
2.
Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
3.
Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Berikut
contoh skema giro Wadi’ah :
(1) Nasabah menabung dalam bentuk uang cek, bank
sebagai pihak yang diminta untuk dititipi
(2). Nasabah boleh mengambil dananya sesuai
permintaan (on call)
(3). Bank
dapat menggunakan dana nasabah untuk pembiayaan
(4). Bank
akan memberikan imbalan (‘athoya) sesuai dengan kebijakan bank
c) Tabungan mudharabah
Dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa simpanan
dari nasabah yang ingin menitpkan dananya untuk tujuan-tujuan tertentu. Tujuan
yang dimaksud biasanya berkaitan dengan hajat beribadah yang dibutuhkan dana
besar dan tidak terjangkau, seperti ibadah qurban, ibadah haji, atau
Pendidikan.
Atas dasar tujuan tersebut, tabungan mudharabah
sering disebut jenis tabungan berjangka .berbeda dengan wadiah yang bersifat
tabungan biasa.
Dalam
Fatwa No: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan menyatakan :
Ketentuan
Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:
1.
Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana,
dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2.
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha
yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk
di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.
5.
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6.
Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
yang bersangkutan.
Berikut contoh dari mudharabah
(1) Nasabah mengajukan
negosiasi suatu pelayanan tentang tujuan beribadah dengan media menabung di
bank Dalam negosiasi akan dicari jenis tabungan (saving) untuk tujuan apa, dan
target waktu yang disesuaikan dengan kemampuan nasabah.
(2) Setelah negosiasi
terselesaikan, nasabah menyetorkan dana tabungan dengan akad mudharabah.
Nasabah sebagai shahibul mal, dan bank sebagai mudharib.
(3) Karena akad mudharabah,
maka bank boleh memperdayakan dana nasabah. Garis pembiayaan pada mudharabah
tidak terputus, menandakan praktik ini dana tabungan wajib diniagakan oleh
mudharib (bank) untuk mendapatkan keuntungan.
(4) Bank akan memberikan
bagi hasil kepada nasabah sesuai kesepakatan. Biasanya, nasabah yang mengikuti
kebijakan bank
(5) Nasabah tidak boleh
mengambil dananya sesuai pemintaan (off call)
(6) akad akan berakhir sesuai
dengan waktu tujuan tabungan tabungan terpenuhi sebagaimana pada negosiasi
2.
DEPOSITO MUDHARABAH
Deposito yaitu harta benda atau uang
yang diberikan ke dalam penguasaan bank untuk pengamatan, investasi. Bila
sesorang mendepositokan uang ke suatu bank, maka uang tersebut merupakan harta
milik bank dan hubungan antara bank dengan orang tersebut sama dengan hubungan
antara pihak utang dengan pihak piutang.
Dalam Fatwa No: 03/DSN-MUI/IV/2000
tentang Deposito
Ketentuan
Umum Deposito berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai
shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau
pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat
melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah
dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional
deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Dalam bank syariah,
praktik deposito mudharabah dapat dijelaskan dengan merujuk pada
beberapa aspek berikut:
a) Deposito
mudharabah merupakan kategori investasi, sehingga disebut investment
accounts bukan saving accounts sebagaimana pada tabungan.
b) Dana
deposito boleh diperdayakan pihak bank, dan deposan akan mendapatkan “bagi
hasil".
c) Dana
deposito pada prinsip dasarnya tidak boleh diambil sesuai dengan permintaan
deposan [offcall], kecuali pada tanggal yang telah disepakati. Akan tetapi jika
deposan berkehendak untuk tetap mengambil dana investasi pada tanggal yang
tidak sesuai perjanjian maka akan dikenakan "denda" sesuai dengan
kebijakan bank.
d) Penentuan
jangka waktu berdasarkan ”regulasi perbankan" yaitu 1, 3, 6, serta 12
bulan.
e) Terdapat
deposito biasa, maksudnya jika tanggal waktu deposito habis maka perjanjian
akan habis pada tepat waktunya dan tidak diperpanjang, dengan atau tidak
pemberitahuan dari deposan.
f) Automatic
Roll Over merupakan model lain dari deposito biasa. Maksudnya jika tanggal
waktu deposito habis, sedangkan deposan tidak ada pemberitahuan maka secara
otomatis pihak bank akan memperpanjang waktu deposito.
g) Perjanjian
atau akad mencantumkan shahibul mal yaitu nasabah sebagai pihak pertama,
mudharib yaitu bank sebagai pihak kedua.
Dari beberapa
penjelasan di atas, skema transaksi deposito mudharabah dapat diskemakan
sebagaimana pada gambar berikut
Penjelasan :
1.
Nasabah
mengajukan negosiasi suatu Pelayanan “investasi” dalam bentuk deposito di bank.
Dalam negosiasi akan diputuskan beberapa hal :
Ø
jumlah dana yang
akan diinvestasikan, serta waktu yang diminati nasabah sesuai regulasi, 1, 2,
3, serta 12 bulan.
Ø
model deposito
biasa atau Automatic Roll Over
Ø
nisbah bagi
hasil didebet langsung ke rekening deposito atau ke rekening lainnya.
2.
Setelah
negosiasi terselesaikan, nasabah menyetorkan dana tabungan dengan akad mudharabah.
Oleh karenanya, nasabah sebagai Shohibul mal, dan bank sebagai mudharib. Pada
aspek ini asas konsensualisme dan asas formalisme terjadi secara bersamaan.
Kesepakatan yang disepakati dalam satu majelis langsung dilaksanakan dalam
formalisme surat perjanjian dan pengisian aplikasi deposito sekaligus
penyerahan dana investasi.
3.
Karena deposito
akadnya mudharabah, maka bank boleh memperdayakan dana nasabah. Garis
pembiayaan pada mudharabah tidak terputus, menandakan praktik ini sesuai
dengan norma fiqh,
yaitu fungsi dalam mudharabah memang dana wajib diperdayakan/diniagakan
oleh mudharib sehingga mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam wadi'ah garis
terputus-putus menandakan hal tersebut sebagai rekayasa produk.
4.
Bank akan
memberikan imbalan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan nasabah dan bank.
Biasanya, nasabah yang mengikuti kebijakan bank. Nisbah bagi hasil juga
digambarkan garis tidak terputus sebagai bagian dari rukun mudharabah.
Berbeda dengan 'athoya pada wadi ’ah yang terputus-putus yang sesungguhnya bukan
rukun Wadi’ah.
5.
Nasabah tidak
dapat mengambil dananya sesuai permintaan (off call). Nasabah hanya dapat
mengambil dananya pada waktu yang telah ditentukan pada saat negosiasi di awal
6. Akad
akan berakhir sesuai dengan waktu perjanjian sebagaimana pada negosiasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank syariah
dalam melakukan Funding atau menghimpun dana sama dengan bank umum
lainnya yaitu mempraktikkan produk tabungan dan giro dan deposito , Tapi terdapat perbedaan mendasar yaitu bank
syariah melandasi setiap transaksi dalam dengan akad yang sesuai dengan syariah
dan undang undang atau peraturan lainnya. Dan Dalam produk tersebut, akad dasar yang dikembangkan adalah Wadi’ah dan
Mudharabah.
Dalam pengembangan akad Wadi’ah,
produk ini ada dua macam yaitu tabungan Wadi’ah dan tabungan giro
wadiah, sedangkan dalam akad Mudharabah ada Tabungan Mudharabah
dan ada Deposito mudharabah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2010. Hukum
Perbankan Syariah. Jakarta : Sinar Grafika
Dahlan, Ahmad. 2012. BANK
SYARIAH Toritik, Praktik, Kritik. Yogyakarta: Teras
Danupranata, Gita. 2013. Manajemen
Perbankan Syariah. Jakarta : Salemba Empat
Muhamad. 2013. Akuntansi Syariah Teori
dan Praktek Untuk Perbankan Syariah. Yogyakarta : UPP STIM YKPN
Rozalinda. 2016. Fikih
Ekonomi Syariah. Jakarta : Rajawali Pers
Comments
Post a Comment